Senin, Desember 9, 2024

Arti ‘Status Quo’ di Masjid Al-Aqsa Yerusalem

Internasional, Jabarupdate: Status quo di kompleks Masjid Al-Aqsa Yerusalem adalah alasan mengapa satu razia polisi dapat memicu perang di kawasan tersebut.

Status hukum Kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem merupakan titik api berulang dalam konflik antara Israel dan Palestina.

Warga Yahudi mengenal tempat itu sebagai Temple Mount.

Pekan lalu, polisi Israel menyerbu Masjid Al-Aqsa. Mereka menyerang dan menangkap para jemaah Palestina yang sedang berada di dalam aula.

Sebagai balasan, roket-roket ditembakkan ke Israel dari Gaza dan Lebanon, yang menyebabkan terjadinya kekerasan singkat.

Pada tahun 2021, penggerebekan serupa menyebabkan serangan Israel selama 11 hari di Jalur Gaza.

Guna memahami bagaimana satu penggerebekan polisi biaa memicu tterjadinya perang, maka harus memahami dahulu status quo yang mengatur kompleks Masjid Al-Aqsa

Apa yang Dimaksud dengan Status Quo di Masjid Al-Aqsa?

Bagi warga Palestina dan di bawah hukum internasional masalahnya cukup sederhana.

Menurut seorang ahli hukum Palestina. Yang bernama Khaled Zabarqa. Bahwa, Israel tak punya kedaulatan atas Yerusalem (Timur).

Maka dari itu, Yahudi tidak memiliki kedaulatan atas Al-Aqsa, yang saat ini sedang diduduki Israel.

Oleh karena itu, lanjut dia, hukum internasional menyatakan bahwa Israel tidak punya wewenang untuk menerapkan status quo.

Bagi Palestina dan Wakaf status quo itu berakar pada administrasi di bawah Kekaisaran Ottoman.

Wakaf merupakan badan yang ditunjuk Yordania. Mereka lembaga yang berwenang mengelola kompleks Al-Aqsa.

Dinyatakan bahwa umat Islam memiliki kontrol eksklusif atas Al-Aqsa.

Nir Hasson, seorang jurnalis Haaretz yang meliput di Yerusalem megatakan, namun, Israel melihat hal ini secara berbeda, meskipun hukum internasional tidak mengakui upaya apa pun dari kekuatan pendudukan untuk mencaplok wilayah yang telah didudukinya.

Menurut dia, ada perbedaan. Bahwa status quo dari orang Israel. Sangat berbeda. Dengan status quo yang dibicarakan Wakaf. Dan oleh Palestina.

Bagi Israel, status quo yang dimaksud mengacu pada perjanjian 1967. Ketika itu perumusnya adalah Moshe Dayan. Dia merupakan mantan menteri pertahanan Israel.

Setelah Israel menduduki Yerusalem Timur, dia mengusulkan pengaturan baru yakni yang berdasar pada perjanjian Utsmaniyah.

Status Quo Menurut Israel Tahun 1967

Berdasarkan status quo Israel 1967, Israel mengizinkan Wakaf mempertahankan kontrol di sana.

Diterangkan bahwa hanya umat Islam yang diizinkan untuk beribadah di kompleks itu.

Hanya saja, polisi Israel tetap memiliki kontrol atas akses ke situs tersebut. Mereka juga bertanggung jawab atas keamanannya.

Jadi, untuk non-Muslim, meskipun diizinkan untuk mengunjungi situs tersebut mereka hanya sebagai turis.

Seorang pengacara dan pakar tempat suci di Israel, Shamuel Berkovits menjelaskan, status quo yang ditetapkan pada 1967 tidak ada dalam perlindungan hukum Israel.

Bahkan, kala itu, lanjut dia, Dayan menetapkan status quo tanpa otoritas pemerintah.

Sejak tahun 1967 itu, tegasnya, undang-undang, tindakan pengadilan, dan pernyataan pemerintah Israel pun sudah menciptakan kerangka kerja untuk status quo tersebut.

Menurut Berkovits, sebetulnya tidak ada hukum Israel yang melarang orang Yahudi untuk beribadah di Al-Aqsa.

Walaupun begitu, Mahkamah Agung Israel memutuskan tetap larangan tersebut dibenarkan. Hal ini untuk menjaga perdamaian.

Bagi banyak orang Israel, hal tersebut dianggap sebagai ‘murah hati’. Mengingat mereka telah meraih kemenangan dalam perang 1967.

Perubahan Terkini Terhadap Status Quo

Antara tahun 1967 dan 2000, bagi non-Muslim masih bisa membeli tiket dari Wakaf. Jika mereka ingin mengunjungi situs Al-Aqsa. Jadi kunjungan itu dianggap sebagai turis.

Namun, setelah Intifada kedua Palestina, atau pemberontakan, meletus pada tahun 2000 (setelah kunjungan kontroversial mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke Al-Aqsa), Wakaf dengan tegas menutup situs tersebut untuk pengunjung.

Pada 2003 Israel meminta Wakaf untuk membukanya lagi, mengizinkan non-Muslim masuk. Namun tetap tak digubris. Dan kompleks situs tetap ditutup bagi pengunjung.

Sejak saat itu, polisi Israel memberlakukan pembatasan pengunjung non-Muslim, pada jam-jam tertentu dan hari-hari tertentu.

Menurut Hasson, Wakaf tidak mengakui para pengunjung ini, bahkan menganggap mereka sebagai ‘penyusup’.

Perjanjian Empat Negara

Pada 2015, terdapat perjanjian empat negara. Yakni Palestina, Israel, Yordania dan Amerika Serikat. Hasilnya, mereka menegaskan untuk kembali pada status quo tahun 1967.

Kala itu, pemimpin Israel adalah Benjamin Netanyahu. Ia pun menegaskan kembali. Negara yang dipimpinnya komitmen pada status quo itu.

Meskipun status quo versi 1967 masih dianggap sebagai basa-basi hingga saat ini. Bahwa itu hanyalah upaya untuk menyesatkan opini publik.

Zedekiah menegaskan, sejak 2017, umat Yahudi secara diam-diam diizinkan untuk berdoa di kompleks tersebut.

Tidak semua orang Yahudi bersalah atas pelanggaran ini. Tapi faktanya, sebelum memasuki kompleks Al-Aqsa itu, para pengunjung melewati tanda peringatan.

Di dalamnya tertulis, memperingatkan orang Yahudi bahwa Kepala Rabbinate melarang mereka masuk. Dengan alasan kesucian situs tersebut

Terutama kaum Zionis religius, yang saat ini diwakili dalam pemerintahan Israel oleh kelompok garis keras seperti Menteri Keamanan Itamar Ben-Gvir, yang berdoa di tempat itu dan memberikan tekanan untuk mengubah status quo, kata Hasson.

Bagi mereka, tekanan ini telah membuahkan hasil. Di sana, Polisi Israel hanya memberikan lebih banyak kebebasan kepada orang-orang Yahudi.

Disebutkan, umat Yahudi, bisa bebas berdoa di kompleks Al-Aqsa sejak 2017.

Adanya keputusan itu, Zabarqa pun menyesalkan kepolisian Israel. Menurut dia, mereka telah mengubah dirinya dari badan profesional yang menjaga aturan hukum.

Kini, ia menilai, Polisi Israel menjadi badan yang memberikan perlindungan bagi orang-orang yang melanggar hukum.

Sementara itu, warga Palestina melihat perubahan ini sebagai upaya untuk menjadikan kompleks tersebut sebagai tempat suci Yahudi.

Mereka juga menilai bahwa Muslim disingkirkan dari Al-Aqsa.

Bagi warga Palestina, Al-Aqsa bukan hanya tempat suci. Tapi juga sudut kecil terakhir yang tak berada di bawah pendudukan Israel.

Hasson mengatakan, warga Palestina merasa bangga dalam menentang pendudukan Israel atas situs tersebut.

Namun jika warga Palestina kehilangan Al-Aqsa, maka seolah-olah “semuanya hilang. Tidak ada yang tersisa”.

- Advertisement -

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News atau gabung di Jabarupdate.id WhatsApp Chanel.

Bagikan Artikel

Komentar

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terbaru

- Advertisment -spot_img

Terpopuler

- Advertisment -