Global, Jabarupdate: Pemerintah Kenya mengumumkan pada hari Minggu lalu, bahwa banjir mematikan telah melanda negara mereka.
Akibatnya, jumlah korban tewas akibat hujan deras dan banjir selama berbulan-bulan terakhir meningkat menjadi 228.
Peringatan dikeluarkan bahwa tidak ada tanda-tanda penurunan dalam krisis ini, bahkan setelah siklon tropis melemah setelah mendarat di wilayah tersebut pada hari Sabtu.
Meskipun Kenya dan tetangganya, Tanzania, terhindar dari kerusakan besar akibat siklon tropis tersebut, pemerintah di Nairobi menyatakan bahwa hujan deras yang terus menerus dan risiko banjir dan tanah longsor masih mengancam wilayah tersebut.
Di barat Kenya, Sungai Nyando meluap pada awal Minggu, menenggelamkan sejumlah bangunan penting di kota Ahero, termasuk kantor polisi, sekolah, rumah sakit, dan pasar.
Dalam laporan yang dikutip oleh ChannelNewsAsia, kerusakan cuaca ini disebabkan oleh musim hujan yang lebih berat dari biasanya, yang diperparah oleh pola cuaca El Nino.
Dampaknya terasa di seluruh Afrika Timur, sebuah wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim.
Lebih dari 400 jiwa telah melayang dan ratusan ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di beberapa negara karena banjir dan tanah longsor yang merusak.
Juru bicara pemerintah Kenya, Isaac Mwaura, menegaskan seriusnya situasi ini dalam sebuah konferensi pers pada hari Minggu menyatakan bahwa ini adalah situasi serius dan tidak boleh dianggap enteng.
Di sisi lain, Otoritas Meteorologi Tanzania menyatakan bahwa siklon tropis yang telah mengancam mereka telah kehilangan kekuatannya sepenuhnya setelah mendarat di Pulau Mafia.
Meskipun demikian, Tanzania tetap menjadi salah satu negara yang paling terdampak oleh banjir, dengan 155 orang tewas sejak awal April.
Di Kenya, Mwaura mengingatkan bahwa meskipun siklon telah melemah, angin kencang dan gelombang di pantai serta hujan deras masih mengancam wilayah pesisir.
Banjir yang melanda Kenya ini telah merenggut nyawa 228 orang di sana sejak Maret, dengan 72 orang masih hilang.
Lebih dari 212.000 orang telah terpaksa meninggalkan rumah mereka, baik dengan paksaan maupun sukarela.
Pemerintah telah mengeluarkan perintah evakuasi bagi siapa pun yang tinggal di sekitar sungai besar atau bendungan, sementara juga memperingatkan tentang risiko penyakit yang ditularkan air.
Jagan Chapagain, kepala Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional (IFRC), menyatakan keprihatinan serius tentang krisis kemanusiaan yang lebih luas.
Sementara itu, pemerintah Kenya telah dikecam karena dianggap tidak siap dan lambat dalam menanggapi krisis ini, meskipun telah ada peringatan cuaca sebelumnya.
Presiden William Ruto menyalahkan siklus bencana kekeringan dan banjir pada kegagalan dalam melindungi lingkungan.
Kejadian paling mematikan di Kenya terjadi ketika bendungan pecah dekat Mai Mahiu, menewaskan 58 orang. Dan pencarian terus berlanjut untuk 13 orang yang masih hilang setelah perahu terbalik di Kabupaten Tana River, yang menewaskan tujuh orang.
Krisis banjir yang melanda Kenya tersebut menunjukkan betapa rentannya wilayah tersebut terhadap ancaman iklim ekstrem, dan menyoroti perlunya upaya bersama baik dalam penanganan darurat maupun dalam mitigasi risiko di masa depan.