Internasional, Jabarupdate: Para saksi mata dan laporan berita mengungkap serangan udara oleh pesawat dan helikopter tempur militer Myanmar, Selasa (11/4/2023) lalu.
Serangan itu menghantam daerah Sagaing, yang dikenal sebagai daerah yang menentang pemerintahan militer.
Mereka telah melancarkan serangan udara ke sebuah kota yang dikenal sebagai benteng pertahanan oposisi terhadap kudeta yang dilakukan dua tahun lalu.
Akibatnya, bahwa puluhan orang tewas dan terluka dalam serangan tersebut. Insiden ini adalah satu yang terburuk sejak militer mengambil alih kekuasaan di negara tersebut.
Diketahui, daerah Sagaing berada sekitar 110 km (45 mil) sebelah barat kota utama Yangon.
Pada epristiwa itu, laporan berita mengatakan sedikitnya 30 orang, termasuk warga sipil, telah tewas dalam serangan di kota Pazigyi.
Serangan udara tersebut terjadi ketika warga berkumpul untuk peresmian sebuah kantor administrasi.
Menurut Tony Cheng dari Al Jazeera melaporkan dari ibukota Thailand, Bangko, pada pukul 7:35 pagi, kerumunan orang diserang oleh jet-jet tempur. Kemudian disusul oleh helikopter Mi-35.
Cheng yang mengutip seorang petugas penyelamat di lokasi kejadian, mengkonfirmasi sekitar 40 orang tewas. Namun dia menduga jumlah korban tewas akan meningkat dikarenakan pembantaian di sana sangat mengerikan.
Dari laporan yang didapat bahwa korban adalah warga sipil, dan jauh dari target militer Myanmar yang sah.
Hal ini jelas melanggar hukum humaniter yang mana dinyatakan dalam perang tidak boleh menargetkan warga sipil.
Tidak Ada Tanggapan Langsung dari Penguasa Militer Myanmar
Militer negara itu telah dituduh melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil. Lantaran mereka melakukan serangan besar-besaran untuk menekan perlawanan bersenjata terhadap pengambilalihan kekuasaan.
Bulan lalu, pemimpin kudeta Myanmar Min Aung Hlaing berjanji untuk menindak tegas para “teroris” yang melawan pemerintahannya.
Pada 1 Februari 2021, militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi, yang memicu protes damai yang ditumpas oleh pasukan keamanan dengan kekerasan berdarah yang meningkat.
Sejak saat itu dan telah dicirikan oleh para ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pihak lainnya sebagai perang saudara.
Ketika militer meningkatkan serangan artileri dan serangan udara saat itu, lebih dari satu juta orang telah mengungsi.
Seorang juru bicara militer mengatakan bahwa baru-baru ini serangan-serangan yang dilaporkan sebelumnya yang dituduhkan kepada pasukannya telah “disalahartikan”.
Negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi terhadap para jenderal yang berkuasa dalam upaya untuk memutus pendapatan dan akses ke peralatan militer dari sekutu-sekutu utama dan pemasok seperti Rusia.