Tak Ada yang Salah jika Hak Politik Koruptor Dicabut
Nasional, Jabarupdate: Korupsi masih menjadi penyakit dalam sebuah birokrasi pemerintahan, bahkan terbilang masif terjadi di negara kita ini.
Data Transparency International mengungkap bahwa dari skala nol (yang terkotor) sampai angka 100 (terbersih) CPI atau Indeks Persepsi Indonesia di tahun 2022 berada pada angka 34/100 (TI Indonesia, 2023).
Ini adalah hal yang buruk yang terjadi di negara kita, masih banyak tikus-tikus di sini.
Angka 34/100 itu menunjukan bahwa kita masih jauh mencapai sebuah angka 100 yang diartikan sebagai birokrasi bersih. Untuk melewati angka 50 ke atas pun belum.
Ada berbagai macam penyebab korupsi masih marak di negeri ini. Seperti hukuman yang dominan tidak membuat jera para koruptor.
Teori GONE dari Jack Bologne mengungkap 4 sumber tumbuhnya perilaku korup adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan.
Pengungkapan di sini artinya pemberian hukuman yang tidak membuat efek jera, secara eksplisit ketika proses dihukum maupun setelah proses hukuman itu sendiri.
Berdasarkan data International Transparency dan Teori GONE itu alangkah baiknya apabila para ‘tikus’ ini diberikan hukuman yang membuat jera.
Ada banyak macam hukuman yang membuat jera, salah satunya pencabutan hak politik. Hak politik ini mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 Pasal 23-25.
Kedua aturan hukum ini memiliki esensi bahwa hak politik adalah hak berserikat, berkumpul, berpendapat, masuk pemerintahan, dan memilih atau dipilih.
Sebenarnya, sanksi sosial kepada koruptor dapat dikatakan terjadi secara alamiah tanpa adanya intruksi dari sebuah pihak.
Sanksi sosial cenderung muncul dari hasil pola pikir masyarakat yang merasa adanya sebuah ketidakbenaran terhadap seseorang, terutama dalam hal yang bersalah.
Seperti koruptor yang sedang atau telah dihukum, hilang rasa kepercayaan dari masyarakat dalam segala lini. Itu merupakan sebuah hal yang wajar terjadi. Masyarakat merasa takut dan berbeda terhadap pelaku tersebut. Begitupun pelaku yang merasa malu, tertekan, dan gundah gulana.
Adanya sebuah pandangan dari John Locke bahwa manusia ini sifat alamiahnya baik, sehingga ketika ada yang melakukan ketidakbaikan akan ada dampak langsung maupun tak langsung.
John Locke pun beranggapan bahwa hak kebebasan dan hak bersuara adalah hal yang tidak bisa direnggut oleh siapapun, namun Locke dalam juga beranggapan bahwa negara bertugas mensejahterakan rakyatnya. (Tambunan, 2008:120-121)
Pandangan Locke tersebut menjadi pemacu tersirat dimana bisa dipandang dari segi normatif bahwa pencabutan hak politik pada pelaku yang merugikan rakyat diperbolehkan.
Namun rasanya tidak kuat apabila segala tindakan tidak dilandasi hukum, tidak terkecuali tindakan dalam memberikan hukuman pada koruptor yaitu pencabutan hak politik. Sanksi pencabutan hak politik ini merupakan hukuman tambahan diluar denda dan hukuman inti. (Marwan dalam Ramdani dkk, 2019:63).
Memang sudah seharusnya hukuman tambahan ini berlaku. Karena hukuman denda dan hukuman inti hanya menghukum pelaku ketika dia dihukum.
Hukuman tambahan setelah proses hukuman adalah sesuatu yang dapat membatasi pergerakan pelaku setelah bebas dari hukuman. Untuk menutup celah melakukan hal yang sama secara berulang kali.
Maka itu harus ada pengawalan berbentuk sanksi yang dimana berupa hak penting yang akan memberikan pengaruh pada orang lain, dan apabila pengaruh tersebut berasalkan dari hal-hal buruk maka ditakutkan hal buruk itu akan lama kelamaan diwajarkan, dianggap biasa saja, dan bahkan dianggap bukan sebuah ancaman kerusakan sosial.
Maka dari itu pencabutan hak politik begitu perlu dilakukan kepada pelaku korupsi. Pasalnya politik adalah tentang pengaruh itu sendiri.
Lalu dilihat dari segi hukum, bahwa pencabutan hak politik terhadap pelaku kejahatan sangat diperbolehkan. Dan ada aturan hukumnya yaitu Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa boleh dihilangkannya sebuah hak yang ada pada diri seseorang apabila seseorang itu melakukan kejahatan dan setelahnya dapat mengganggu ketertiban umum maupun kerusakan nilai, moral, dan semacamnya.
Ada batasan-batasan terntentu dalam konstitusi. Lalu di ayat 1 Pasal 35 KUHP dijelaskan bahwa diperbolehkan adanya pencabutan hak politik dengan jenis-jenis yang ditetapkan dan diatur jangka waktu pencabutannya, pada Pasal 38 KUHP.
Konstitusi kita secara eksplisit menggambarkan bahwa boleh menghilangkan sesuatu yang saklek dan kaku apabila tujuannya sebagai hukuman demi kejeraan pelaku. Dan ini adalah perumusan yang bagus.
Lantaran kelonggaran, toleransi, dan menyederhanakan segala sesuatu yang merusak nilai, moral, dan norma sudah tidak boleh lagi dilakukan.
Kita bisa melihat data tahun 2019 menurut Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa ada 46 calon anggota legislatif (Caleg) yang merupakan mantan terpidana korupsi (ICW, 2019:1).
Anggota legislatif yang akan maju adalah atas persetujuan dari petinggi partai, dan hal ini berbahaya bisa menyebabkan sebuah penganggapan kesalahan sebagai hal yang biasa yang mengalur dari atas dan lama-lama ke bawah.
Dan inilah salah satu hitung-hitungan keyakinan mengapa pencabutan hak politik akan menjadi sebuah efek jera bagi para koruptor, karena memberikan hak politik kepada koruptor akan membuat pelaku tersebut menganggap biasa-biasa saja perbuatannya sehingga tak jera, dan secara tak langsung negara mengkontruksi masyarakat mengarah pada sebuah pengwajaran korupsi.
Kita sudah harus memberhentikan hal semacam ini. Kita jangan membenarkan secara eksplisit atau mewajarkan hal yang menjadi kebiasaan. Tapi harus sebaliknya yaitu membiasakan hal yang benar.
Kita harus mulai merubah budaya-budaya jelek yang dimana mengalur pada diwajarkan dan dilonggarkan. Kita harus mulai menjadi jelas menolak segala bentuk korupsi karena sampai kapanpun tidak akan berubah apabila bukan kita sendiri yang mengubahnya.
Seperti kata-kata dari Soekarno bahwa suatu bangsa tidak akan bisa merubah nasibnya, jika bangsa itu tidak ingin merubah nasibnya sendiri.
Konstitusi sudah membolehkan pencabutan hak politik, begitupun secara normatif eksplisit dapat dikatakan normal ketika dicabut hak politiknya.
Saatnya kita harus menghilangkan kuasa secara umum para ‘tikus’ tersebut, kuasa di sini seperti menurut Budiarjo (2008) dalam artian kemampuan suatu pihak mempengaruhi pihak lain.
Maka dari itu marilah kita semua mengarahkan pada pencabutan hak politik para koruptor, mari kita cabut dan renggut kuasa tikus, kuasa para tikus.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat kita ketahui bahwa pencabutan hak politik pada koruptor diperbolehkan, baik secara yuridis, maupun dari kacamata normatif. Dan pencabutan hak politik itu sendiri akan berdampak terhadap pelaku korupsi, yaitu efek jera. Dimana akan meminimalisir arus pengwajaran terhadap sebuah tindakan koruptif dari pemerintah maupun masyarakat.
Dan marilah kita sudah membenarkan hal yang jadi kebiasaan, tapi mari mulai membiasakan hal yang benar.
Penulis: Ade Sopyana