Jumat, Mei 3, 2024

Sisi Gelap Pemilu dan Peran Intelektual

Oleh: Derry Ridwan Maoshul

Pemilihan Umum dikenal juga sebagai pesta demokrasi. Konotasi ini berhubungan dengan besarnya penyelenggaraan kegiatan tersebut. Biaya yang dibutuhkan untuk pesta tersebut sangatlah besar. Pada pemilu 2024, biaya yang disiapkan adalah sebanyak Rp 70,5 triliun dengan skema multiyear.

Bukan hanya biaya yang besar, pihak yang terlibat pun sangatlah besar. Sebagaimana ketetapan KPU ada sebanyak 204.807.222 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Artinya sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, setidaknya sebagai pemilih. Namun, besarnya penyelenggaraan agenda tersebut tidak membuat kita teralihkan untuk melihat sisi gelap pemilu 2024.

Menurut Undang-undang, Pemilu didefinisikan sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD, yang dilaksanakan secara

Luber Jurdil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Artinya, penyelenggaraan pemilu berfungsi untuk pergantian pemerintah yang berkuasa secara damai. Pemerintah dievaluasi melalui penyelenggaraan pemilu. Apabila rakyat menilai baik, akan melanjutkan kekuasaanya. Sebaliknya, apabila rakyat menilai buruk, mereka akan diganti.

Pemimpin yang akan memerintah yang lahir dari proses pemilu diharapkan mampu menunaikan cita-cita bangsa Indonesia. Cita-cita tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Serta terlibat dalam upaya melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sayangnya pemimpin ideal yang diharapkan tidak akan bisa menjalankan roda pemerintahan dengan cita-cita mulia tersebut, tanpa mendapatkan ‘suara’. Jadi pemilu ini tidak hanya ajang memilih pemimpin ideal, tetapi ajak melahirkan pemimpin yang bisa mendapatkan ‘suara’ terbanyak?.

Sebagus apapun visi dan misi calon seorang pemimpin, langkah pertama yang ia harus lakukan adalah mendapatkan ‘suara’ paling banyak dan ini membutuhkan kost politik yang besar. Sebagai ilustrasi, kos Politik yang dibutuhkan untuk 3 pasangan calon presiden. Jika 1 pasangan mengeluarkan 8 T maka biaya yg dikeluarkan oleh 3 pasangan calon adalah 24 T.

Sedangkan untuk calon DPR RI dengan ketersediaan kursi sebanyak 580 yang di isi 10 kandidat. Kos masing-masing calon membutuhkan biaya 2 milyar, maka biaya yg dikeluarkan adalah 11, 5 T. Untuk DPRD Provinsi ada 2732 kursi yang diisi oleh 8 kandidat. Misalnya masing-masing membutuhkan 75 juta, maka biaya yang dikeluarkan adalah 16,4 T. Untuk DPRD Kabupaten/kota ada 17510 kursi yang diisi oleh 6 kandidat. Misalnya masing-masing membutuhkan biaya 250 juta, maka biaya yg dikeluarkan adalah 26,3 T.

Sebagus apapun visi dan misi yang dimiliki dengan seabrek pengalaman, tidak akan bisa mengikuti pemilu tanpa modal yang besar.

Para kandidat dihadapkan dengan fakta karakter pemilih indonesia yang pragmatis. Kos politik yang dibutuhkan akan lebih besar dari ilustrasi di atas. Sebagaimana fakta yang diungkapkan lembaga survei Charta Politika. Pada pemilu 2019 lalu lembaga survei tersebut merilis mengenai opini pemilih di Indonesia mengenai praktik politik uang. Hasilnya, sebanyak 45,6 persen, masyarakat mendukung praktik politik uang.

Alih-alih menyakinkan dengan visi dan misi serta program-program unggulan. Para kandidat malah ikut melakukan vote buying (membeli suara dengan uang).

Selanjutnya mari kita lihat pemilih dari tingkat pendidikannya. Hal ini untuk menunjukan seberapa besar pengaruh visi dan misi serta program unggulan bagi mereka daripada praktik vote buying.

Berdasarkan data yang disampaikan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Penduduk Indonesia ada sebanyak 275,36 juta jiwa pada bulan Juni 2022. Dari jumlah tersebut, hanya sebanyak 6,41% saja penduduk yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Rinciannya, penduduk dengan lulusan D1 dan D2 sebanyak 0,41%. Penduduk lulusan D3 sebanyak 1,28%. Lulusan S1 berjumlah 4,39%, lulusan S2 sebanyak 0,31%, dan hanya 0,02% saja penduduk lulusan S3.

Sampai bulan Juni 2022 penduduk yang lulus hingga SLTA berjumlah 20,89%. Kemudian penduduk yang lulus hingga SLTP sebanyak 14,54%. Sedangkan 23,4% penduduk Indonesia hanya lulusan SD. 11,14% lainnya belum lulus SD, dan yang tidak sekolah mencapai 23,61%.

Tingkat pendidikan berkorelasi dengan tingkat literasi. Semakin terdidik seseorang tingkat literasinya semakin baik. Namun rendahnya tingkat literasi berakibat fatal akan terjerat oleh hoax. Khususnya menjelang pemilu dilaksanakan. Kementerian Kominfo mencatat sebanyak ada sebanyak 11.642 isu hoaks hingga 31 mei 2023. Isu hoax lebih masif menjelang penyelenggaraan pemilu. Kabarnya ada sebesar 100 triliun uang yang tersebar saat pemilu untuk menyebarkan informasi.

Hoax dan misinformasi masif menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan lawan politik dan menaikan citra diri. Hal ini adalah salah satu upaya untuk mendapatkan hati pemilih. Karena faktanya, mendapatkan hati pemilih akan jauh lebih mudah daripada memenangkan pikirannya. Maka jelaslah pemimpin yang dilahirkan dari sebuah pemilu adalah yang bisa memainkan hati pemilih yang notabene berpendidikan rendah.

Pada situasi seperti ini kita membutuhkan peran seorang intelektual atau kaum terdidik untuk ikut melakukan pendidikan politik kepada pemilih. Informasi yang didapatkan pemilih haruslah berimbang dan terkonfirmasi kebenarannya. Saat ada upaya-upaya kampanye hitam dari pihak-pihak yang bertanggungjawab, para intelektual sudah lebih dulu menyatakan informasi yang benar. Sehingga kampanye yang dilakukan setiap kandidat bukan hanya bernuansa citra diri, melainkan bersifat edukatif dan programik.

Bukan hanya sampai di kampus-kampus, informasi yang benar harus sampai ke kampung-kampung. Pemilih yang berada di kampung juga harus tersentuh oleh pendidikan politik. Setidaknya, sisi gelap pemilu mengenai, besarnya kos politik, isu hoax dan dampak menjadi pemilih emosional bisa di counter. Pemilih harus menyadari bahwa vote buying adalah ibu dari perilaku korupsi.

Sebagaimana disampaikan oleh Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals. Bahwa kaum intelektual memiliki peran dan tanggung jawab untuk menyuarakan ‘kebenaran’ dan mengungkap kebohongan penguasa (to speak the truth and to expose the lies).

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News atau gabung di Jabarupdate.id WhatsApp Chanel.

Bagikan Artikel

Komentar

- Advertisement -spot_img
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

Terbaru

- Advertisment -spot_img

Terpopuler