Bandung, Jabarupdate: Komunitas Gusdurian Bandung menggelar peringatan Hari Lahir (Harlah) Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur pada Sabtu (14/9/2024).
Acara ini tidak hanya menjadi ajang mengenang sosok Gus Dur, tetapi juga sebagai momentum refleksi atas nilai-nilai yang beliau wariskan, yakni kebersamaan, keberagaman, dan kemanusiaan.
Dengan mengusung tema “Refleksi Demokrasi dan Kebersamaan”, kegiatan ini menarik perhatian berbagai kalangan, dari akademisi, aktivis, hingga tokoh-tokoh masyarakat.
Acara ini dibuka dengan keynote speech dari Pembina Gusdurian Bandung, Profesor Dudang Gozali.
Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan pentingnya merefleksikan pemikiran Gus Dur dalam konteks demokrasi dan keadilan sosial saat ini.
Dudang mengungkapkan, peringatan Hari Lahir Gus Dur harus menjadi awal dari refleksi bersama untuk menghidupkan kembali ajaran-ajarannya tentang keadilan, terutama dalam hal demokrasi, dan ekonomi.
Menurutnya, Gus Dur selalu menekankan pentingnya keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
“Harlah Gus Dur ini diharapkan menjadi awal untuk merefleksikan ajaran-ajarannya. Yakni tentang keadilan, baik dalam hal Demokrasi maupun ekonomi. Ke depannya ingin digelar diskusi keadilan ekonomi. Tentunya perspektif ajaran Gus Dur,” kata dia.
Salah satu kegiatan utama dalam peringatan ini adalah diskusi dan bedah buku ‘Demokrasi Seolah-olah’, yang merupakan kumpulan pemikiran Gus Dur terkait demokrasi.
Buku ini, diterbitkan oleh Yayasan Bani Kiai Haji Abdurrahman Wahid, menjadi bahan diskusi dalam upaya mengkritisi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Tiga pemateri dihadirkan untuk membahas buku tersebut, yakni Reza Fauzi Nazar (akademisi), Nur Rofiah (aktivis Jaringan Gusdurian), dan Hedi Ardia (unsur birokrasi).
Mereka sepakat bahwa demokrasi di Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar. Demokrasi prosedural masih berjalan, namun demokrasi substansial, yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan, semakin jauh dari harapan.
“Demokrasi kita seolah-olah hanya dilaksanakan dalam bentuk pemilu, tetapi hakikat dari demokrasi, yakni keterbukaan, keadilan, dan partisipasi aktif masyarakat, sering kali diabaikan oleh para pemegang kekuasaan. Ini adalah salah satu refleksi besar yang perlu kita lakukan,” ungkap Reza dalam diskusi.
Nur Rofiah menambahkan bahwa komunitas Gusdurian memiliki peran penting untuk terus memperjuangkan hak-hak sipil dan menjadi garda terdepan dalam melawan ketidakadilan.
“Kita harus konsisten menyuarakan keadilan dan hak-hak masyarakat sipil, sebagaimana Gus Dur selalu berdiri bersama mereka yang tertindas,” tegasnya.
Kegiatan ini juga mendapat apresiasi dari Sekretariat Nasional Gusdurian, yang diwakili oleh Wahyuni Dela Sri.
Dalam sambutannya, ia menyampaikan rasa bangganya atas peringatan ini yang tidak hanya merayakan warisan Gus Dur, tetapi juga menjadi wadah dialog lintas iman yang mencerminkan nilai-nilai keberagaman dan kebersamaan.
Gus Dur adalah simbol kebersamaan, keberagaman, dan kemanusiaan. Melalui acara ini, Gusdurian bisa merajut kembali nilai-nilai tersebut di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi.
Tak hanya itu, Jamiludin, Koordinator Gusdurian Bandung, juga menegaskan bahwa Harlah Gus Dur bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi merupakan kesempatan untuk kembali meresapi ajaran Gus Dur yang menekankan perdamaian, pluralisme, dan keadilan.
“Harlah Gus Dur sebagai refleksi keberagaman, budaya dan kemanusiaan,” tegas dia.
Acara Hari Lahir Gus Dur tahun ini ditutup dengan harapan agar nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diajarkan Gus Dur terus hidup dan menjadi pijakan dalam menghadapi tantangan demokrasi di Indonesia masa kini.