Global, Jabarupdate: Suriah mengalami perubahan besar dalam situasi politik dan militernya setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad.
Pada 8 Desember, kelompok oposisi mengumumkan keberhasilan mereka merebut kendali atas Damaskus dan menggulingkan pemerintahan Assad, yang telah berkuasa selama lebih dari dua dekade.
Selain itu, mereka menyatakan bahwa seluruh tahanan telah dibebaskan di bawah kendali militer mereka. Pernyataan ini dikonfirmasi oleh seorang perwira militer Suriah melalui laporan kepada Reuters, dikutip Jabarupdate pada Rabu (11/12/2024).
Dengan mundurnya pasukan dan pejabat pemerintah dari sejumlah lokasi strategis, kelompok oposisi dengan mudah mengambil alih berbagai fasilitas penting.
Lokasi seperti bandara internasional, gedung penyiaran nasional, serta beberapa markas keamanan berhasil dikuasai.
Perdana Menteri Suriah, Mohammad Ghazi al-Jalali, secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada pihak oposisi.
Di sisi lain, Bashar al-Assad bersama keluarganya diketahui telah melarikan diri ke Moskow dan mendapatkan suaka dari pemerintah Rusia, sebagaimana dilaporkan oleh media Rusia, Tass.
Runtuhnya rezim Assad disambut dengan sukacita oleh masyarakat Suriah, terutama di Damaskus.
Euforia terlihat di jalan-jalan, dengan warga yang merayakan kejatuhan pemerintahan otoriter selama 24 tahun.
Namun, suasana perayaan ini dengan cepat berubah menjadi ketegangan akibat kekosongan kekuasaan yang memicu ketidakstabilan baru.
Serangan Udara Intensif di Tengah Kekosongan Kekuasaan Usai Rezim Bashar al-Assad
Hanya sehari setelah pengumuman jatuhnya rezim Assad, Suriah menghadapi situasi semakin genting.
Israel memanfaatkan kekosongan kekuasaan dengan melancarkan serangan udara ke depot senjata militer Suriah di sekitar Damaskus, termasuk Bandara Militer Mezzeh.
Serangan ini menyebabkan kerusakan besar, menghancurkan fasilitas militer strategis seperti rudal jelajah, pusat penelitian ilmiah, dan laboratorium pertahanan.
Dalam waktu 48 jam, lebih dari 300 serangan udara dilakukan oleh Israel, yang menargetkan instalasi pertahanan udara, gudang senjata, serta fasilitas intelijen.
Selain serangan udara, operasi darat Israel juga diperluas hingga ke wilayah Gunung Hermon dan zona penyangga Dataran Tinggi Golan.
Israel berhasil memperluas wilayahnya di Suriah, melampaui batas kesepakatan demiliterisasi yang disepakati pada 1974.
Di sisi lain, pasukan Amerika Serikat juga meningkatkan serangan udara mereka. Lebih dari 75 serangan udara dilakukan dalam sehari, menargetkan berbagai lokasi di seluruh negeri. Operasi ini dipimpin oleh Komando Pusat AS dengan tujuan melemahkan dan menghancurkan ISIS.
Beberapa jenis pesawat tempur, termasuk pembom B-52 dan jet tempur F-15, terlibat dalam operasi ini.
Masa Depan Suriah yang Tidak Menentu
Kejatuhan rezim Assad memicu eskalasi konflik militer di kawasan tersebut.
Serangan udara oleh Israel dan Amerika Serikat, serta perubahan besar dalam peta wilayah, menimbulkan ketidakpastian tentang masa depan Suriah.
Bagaimana komunitas internasional merespons situasi ini akan menjadi faktor penting dalam menentukan arah Suriah ke depan.