JAWA BARAT, Jabarupdate: Ketua Umum Kohati Badko Jawa Barat, Hana Muhamad angkat bicara terkait maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menimpa kaum perempuan.
Dirinya berpendapat bahwa isu ini tidak hanya mendesak, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan yang sangat penting, terutama ketika perempuan menjadi korban utama.
“Data terbaru dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Jawa Barat menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terjadi peningkatan kasus TPPO sebesar 30% dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkap Hana, Kamis (12/12/2024).
Dirinya juga menjelaskan bahwa pada tahun 2024, jumlah kasus TPPO di Jawa Barat mencapai 520 kasus, di mana sekitar 75% di antaranya melibatkan perempuan sebagai korban.
Mayoritas korban berusia antara 18 hingga 30 tahun, kelompok usia yang sering kali rentan terhadap penipuan dan eksploitasi.
Daerah dengan Kasus TPPO Terbanyak
Berdasarkan laporan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta data dari Komnas Perempuan, berikut adalah daerah-daerah di Jawa Barat yang mengalami kasus TPPO terbanyak dan rawan pada tahun 2024:
- Cianjur tercatat sebagai daerah dengan kasus TPPO terbanyak, dengan 120 kasus yang dilaporkan. Banyak perempuan dari daerah ini terjebak dalam jaringan perdagangan manusia dengan tawaran pekerjaan yang menipu.
- Subang juga menjadi salah satu daerah rawan TPPO, dengan 90 kasus yang tercatat. Banyak korban yang direkrut dengan modus penipuan pekerjaan di luar negeri.
- Sukabumi mencatatkan 80 kasus TPPO, terutama terkait dengan eksploitasi seksual. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di daerah ini menjadi daya tarik bagi pelaku TPPO.
- Indramayu merupakan salah satu daerah rawan TPPO, dengan 70 kasus yang dilaporkan. Banyak korban berasal dari kalangan perempuan muda yang tergiur dengan tawaran pekerjaan.
- Bogor mencatatkan 60 kasus TPPO, dengan banyak korban yang direkrut melalui media sosial dengan iming-iming pekerjaan yang menggiurkan.
“Pelaku TPPO menggunakan berbagai metode canggih dan licik untuk merekrut korban. Banyak perempuan terjebak melalui iklan pekerjaan di media sosial yang menjanjikan gaji tinggi dan kondisi kerja yang baik,” ungkap Hana.
Dirinya menyebut, 65% korban TPPO melaporkan bahwa mereka dijanjikan pekerjaan yang tampaknya sah, tetapi kemudian dipaksa ke dalam eksploitasi seksual atau kerja paksa.
“Dampak TPPO tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis. Korban sering mengalami trauma yang mendalam, termasuk depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD),” ungkap Hana.
Selain itu, survei oleh Komnas Perempuan pada tahun 2024 menunjukkan bahwa 72% korban TPPO melaporkan mengalami masalah kesehatan mental setelah mengalami eksploitasi.
“Mereka sering kali merasa terasing dari keluarga dan masyarakat, yang hanya memperburuk kondisi psikologis mereka,” ujarnya.
Di Indonesia, TPPO diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 1, undang-undang nomor 21 tahun 2007 memberikan dasar hukum yang kuat untuk memberantas praktik ini.
Terbaru, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2021 menekankan pentingnya kolaborasi antar lembaga dalam penanganan TPPO, tetapi pelaksanaannya masih memiliki tantangan yang besar.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan TPPO adalah lemahnya penegakan hukum. Banyak korban yang takut untuk melapor karena stigma sosial atau bahkan ancaman dari pelaku. Selain itu, kurangnya pelatihan untuk aparat penegak hukum dalam menangani kasus TPPO juga menjadi masalah. Mereka sering tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang dinamika perdagangan manusia dan cara terbaik untuk melindungi korban. Ini membuat banyak kasus TPPO tidak terungkap dan pelaku tetap bebas berkeliaran.
Untuk mengatasi masalah TPPO di Jawa Barat, kita perlu langkah-langkah yang konkret dan terintegrasi. Pertama, edukasi masyarakat harus diperkuat.
Selanjutnya, program penyuluhan tentang hak-hak perempuan dan bahaya TPPO perlu diperkenalkan di sekolah-sekolah, komunitas, dan melalui media sosial.
Pelaku TPPO Harus Dibuat Jera
Kemudian, penegakan hukum yang lebih ketat harus diterapkan. Pelaku TPPO harus dihukum secara tegas untuk memberikan efek jera.
TPPO adalah masalah serius yang mempengaruhi kehidupan perempuan di Jawa Barat dan memerlukan perhatian serta tindakan dari semua pihak.
“Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap kenyataan pahit ini. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat melindungi hak-hak perempuan dan memberantas TPPO,” ungkapnya.
“Mari bersatu untuk melawan TPPO dan memberikan harapan kepada mereka yang terpinggirkan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi setiap perempuan,” pungkasnya.