Global, Jabarupdate: Pernikahan di Jazirah Arab sebelum Islam memiliki beragam bentuk yang mencerminkan tradisi dan budaya masyarakat Arab kuno.
Sebelum aturan pernikahan diatur oleh ajaran Islam, berbagai jenis pernikahan, seperti istibdā’, mut’ah, hingga pernikahan dengan mahar, menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai keluarga, kekuasaan, dan hubungan antarindividu dibangun pada masa itu.
Bentuk-bentuk pernikahan yang berkembang di masa itu mencerminkan pola kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Arab kuno. Beberapa tradisi ini kemudian diubah atau dihapuskan setelah Islam hadir.
Pernikahan dalam Konteks Sosial Jazirah Arab Kuno
Di era pra-Islam, dikutip dari The Muslims Readers pada Rabu (12/3/2025), masyarakat Jazirah Arab didominasi oleh sistem kekeluargaan yang berorientasi pada keluarga besar (extended family).
Sistem ini sering kali menjadi landasan dalam pengambilan keputusan, termasuk pernikahan. Pluralitas dalam pernikahan, seperti poligami dan poliandri, ditemukan di beberapa wilayah, meskipun intensitasnya berbeda-beda.
Dalam budaya yang berpusat pada kekeluargaan, poligami dianggap meningkatkan kekuatan dan prestise keluarga.
Tidak adanya larangan yang terinstitusionalisasi membuat praktik ini diterima secara luas, meskipun tidak selalu umum.
Namun, ada bukti bahwa beberapa wanita dan keluarga mereka menolak praktik ini, bahkan sebelum Islam menetapkan aturan yang lebih ketat.
Ragam Bentuk Pernikahan di Jazirah Arab Kuno
Berikut adalah beberapa jenis pernikahan dan hubungan yang ditemukan di Jazirah Arab sebelum Islam:
1. Pernikahan dengan Kontrak
Jenis pernikahan ini melibatkan lamaran kepada wali wanita, pemberian mahar, dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Pernikahan ini mirip dengan konsep pernikahan dalam Islam.
2. Mut’ah Marriage
Pernikahan sementara ini dilakukan untuk durasi tertentu dengan kesepakatan antara pria dan wanita. Biasanya, praktik ini melibatkan pembayaran tertentu oleh pria kepada wanita.
3. Istibdā’ (Peminjaman Istri)
Para suami mengizinkan istri mereka berhubungan dengan pria lain yang dianggap unggul untuk mendapatkan keturunan berkualitas. Anak yang lahir dari hubungan ini diakui sebagai anak sosial dari suami.
4. Akhdān (Cinta Rahasia)
Pria dan wanita dapat menjalin hubungan rahasia tanpa kontrak. Hubungan ini sering dihentikan jika diketahui oleh masyarakat, karena dianggap memalukan.
5. Pernikahan dengan Pertukaran
Dalam bentuk ini, seorang pria dapat menukar istri atau anak perempuan dengan istri atau anak perempuan pria lain, tanpa perlu memberikan mahar.
6. Pernikahan dengan Pembelian
Pria membeli seorang wanita sebagai istri dengan memberikan mahar kepada wali wanita tersebut. Harga yang tinggi dianggap mencerminkan status dan keamanan wanita di masa depan.
7. Pernikahan Warisan
Janda diwariskan kepada ahli waris suaminya yang telah meninggal. Ahli waris dapat menikahi janda tersebut, menjualnya, atau melarangnya menikah dengan orang lain.
8. Maqt Marriage
Praktik ini memperbolehkan seorang pria menikahi janda atau mantan istri ayahnya.
9. Pernikahan Eksperimen (Sifāh)
Beberapa suku mengizinkan pria dan wanita untuk hidup bersama sebelum menikah. Jika cocok, mereka dapat melanjutkan ke pernikahan resmi; jika tidak, hubungan tersebut berakhir.
Islam dan Perubahan Sistem Pernikahan
Ketika Islam muncul, tradisi pernikahan ini dievaluasi ulang. Islam hanya mengakui beberapa bentuk pernikahan, seperti pernikahan dengan kontrak dan pernikahan dengan budak.
Bentuk-bentuk lain, seperti mut’ah, istibdā’, dan akhdān, dilarang karena tidak sesuai dengan prinsip moral dan sosial Islam.
Islam menekankan pentingnya keadilan dalam pernikahan, penghormatan terhadap wanita, dan larangan praktik yang merendahkan martabat manusia.
Kehadiran Islam membawa transformasi besar dalam sistem pernikahan dan membentuk dasar hukum keluarga yang berlaku hingga kini.